Minggu, 15 November 2009

GOOD LAWYER

Judul Buku : GOOD LAWYER
Penulis : Zara Zetira ZR dan Blogger Indonesia.
Penerbit : Rose Heart Publishing
Dicetak oleh : PT. Gramedia
Ukuran Buku : 134 mm x 199 mm x 12 mm
Jumlah Halaman : 306 lembar + 2 lembar sampul
Content Buku :

Buku ini adalah buku kumpulan cerita-cerita pendek bertemakan hukum yang merupakan karya para Blogger Indonesia yang tergabung dalam Rose Heart Writers (RHW) yang didukung sepenuhnya oleh penulis kondang Zara Zettira ZR.

Adapun keberagaman cerita dalam buku ini merupakan implementasi dari kebaragaman para penulisnya sendiri, tak terelakkan juga adanya pengaruh etnis dan paradigma mereka memandang kesusasastraan sebagai media pembelajaran hukum yang cukup relevan.

ESPECIALLY FOR YOU

Judul Buku : ESPECIALLY FOR YOU
Penulis : Risa Amrikasari
Penerbit : Rose Heart Publishing
Dicetak oleh : PT. Gramedia
Ukuran Buku : 109 mm x 174 mm x 20mm
Jumlah Halaman : 352 lembar + 2 lembar sampul
Content Buku :

Especially For You adalah buku kumpulan artikel motivasi diri yang ditulis oleh Risa Amrikasari yang merupakan sebagian kecil dari artikel pilihan yang dibuatnya selama tiga tahun terakhir ini. Sebagian besar dari artikel yang ada di buku ini dibuat berdasarkan pengalaman pribadi sang penulis yang senantiasa mengamati peristiwa-peristiwa di sekitarnya, terutama hal yang berkaitan dengan perempuan.

Sabtu, 14 November 2009

MISTISKAH ATAU KETIDAKMAMPUAN PENYEBABNYA!!!

PONARI!! Nama yang satu ini, akhir-akhir ini menjadi buah bibir bagi para pencari berita. Bagaimana tidak, seorang bocah kelas 3 SD, tiba-tiba hadir menjadi seorang yang mampu menyembuhkan penyakit orang lain, yang kalau di negeri kita, orang-orang semacam dirinya, yang pandai mengobati tanpa melewati jenjang resmi pendidikan kesehatan ataupun kedokteran dikenal dengan sebutan DUKUN.

PONARI dalam minggu-minggu terakhir ini hadir sebagai DUKUN CILIK yang sakti pula. Kesaktiannya itu tersebar ke beberapa tempat tersohor, apalagi dengan bantuan para pencari berita, sungguh informasi ini tak terbendung meluas.

Kamis, 12 November 2009

STOP GLOBAL WARMING

Isu global warming memang marak disuarakan beberapa tahun ini, tapi tahukah kamu bahwa 'The King of Pop' Michael Jackson sudah memperlihatkan kepeduliannya terhadap hal tersebut setidaknya sekitar 10 atau 15 tahun yang lalu, hal itu terbukti lewat lagunya yang berjudul 'Heal The World', tak hanya sampai di situ saja, Jacko (sapaan akrab sang Raja Pop ini) jugamembuktikannya dengan mendirikan yayasan yang didedikasikan selain untuk anak-anak juga sebagai wujud kontribusinya terhadap dunia yang dananya bersumber dari hasil penjualan album dan konsernya.

Ada juga salah satu band di negara kita yang menamakan grup bandnya dengan sebutan 'Efek Rumah Kaca', hal ini mereka lakukan sebagai wujud peduli mereka terhadap isu global warming, penamaan grup band mereka itu diharapkan dapat mengingatkan kita tentang bahayanya efek rumah kaca, jadi setiap kali kalian mendengar nama grup band itu diharapkan adanya kesadaran agar kita mau menjaga bumi ini.

Jacko dan band Efek Rumah Kaca tak hanya menyuarakan isu global warming dengan lantang, tapi juga membuktikannya, BAGAIMANA DENGAN LOE??

RENUNGAN SANG SUARA SUCI

Belum juga bangsa ini menyatukan puing-puing ketegarannya atas semua cobaan yang memilukan semua raga rakyatnya, berlanjut lagi kegalauan menampar keras meninggalkan tapak merah bekas kesedihannya. Kini wajah-wajah sarasehan bangsa merah putih ini bak lukisan bendera putih yang berhias gegana hitam. Lukisan kedukaan bangsa yangtiada henti-hentinya diberi eksamen.

***

Ketika kusempatkan diriku merenungi semua peristiwa-peristiwa kelam yang kini menjadi sebuah cerita yang tiada berakhiryang menimpa bangsaku, sosok malaikat kematian yang sibuk mengabsen nama calon-calon pengikutnya membayangi setiap sudut mataku.

Di setiap kedipan mataku, silih berganti drama kedukaan bum pertiwi ini antrian ingin memperlihatkan kekelamanya padaku.

"Tuhan, apa salah insan bumi khatulistiwa ini pada-Mu?".

POLEMIK WANITA - TERIK MATAHARI, TIMBANGAN DAN RAMUAN KECANTIKAN

Tepat pukul 14.25, saat terik matahari mulai mengalah membakarhangus atau setidaknya memanasi bumi. Andika mengajakku bermainbasket di halaman rumahnya bersama teman-teman kelasku di SMAN 1 Cakrawala. Aku pun merespon ajakan itu dengan gerakan tubuh berjingkrak-jingkrak--memberi kesan sangat bahagia.

Aku lalu masuk ke kamar mengambil sport shoes-ku dan mengganti bajuku, kemudian berlari menuruni tangga menuju teras menghampiri Andika yang sudah menungguku, tiba-tiba suara Mom--panggilan kesayanganku dan kakak-kakakku terhadap Ibu, menghalangi kepergianku, "Anggun, mau kemana?"

"Ke rumah Andika", jawabku singkat.

Mom kemudian berjalan mendekatiku, melihat penampilanku, lalu bertanya pada Andika, "Kalian tidak akan belajar kelompokkan?"

"Tidak Bu, kami mau main basket", jawab Andika sopan.

"Tapi cuaca sangat cerah bahkan terasa panas saat ini, sebaiknya kalian bermain basket jam 4 saja", komentar Ibu.

"Tapi teman-temanku sudah keburu pulang Mom", ujarku manja, berharap Mom mau menerima alasan klise-ku disertai dengan raut wajah yang ku buat cukup memelas, itu menurutku.

"Terik matahari bukan sesuatu yang baik untukmu Anggun, mengerti!"

RONA INDAH YANG TERTINGGAL DI PELATARAN

Hari ini adalah hari kedua ujian seleksi penerimaan mahasiswa baru di kampus itu. Setelah selesai berkutat mengutak-atik semua isi memori otakku, mengumpulkan semua informasi yang pernah menetap dan tinggal, agar bias menjawab soal-soal tersebut, kuputuskan untuk segera pulang ke rumah mengistirahatkan tubuh dan otakku yang sudah sangat lelah. Namun, ketika aku beranjak meninggalkan ruangan test menuju pintu gerbang universitas yang berjarak sekitar 50 meter langkahku terhenti, bukan, bukan karena kepalaku tiba-tiba nyut-nyut tidak karuan karena telah bekerja keras menjawab soal-soal itu, bukan juga karena perutku yang sedang demontrasi karena belum diberi keadilan ‘sarapan pagi’, tapi ada peristiwa yang mengundangku untuk melihatnya meski hanya sekilas.

Tertarik dengan keadaan yang begitu baru bagiku dengan status sosial yang tidak pasti mengingat aku bukan lagi seorang siswi SMA dan belum juga terdaftar sebagai seorang mahasiswi, naluri penasaranku bangkit, dengan segera kulangkahkan kakiku menuju kerumunan itu, selanjutnya kudapati diriku telah berada dalam kerumunan itu, ya menjadi salah satu bagian dari mereka, sayangnya hanya sebagai unsur pelengkap saja. Semuanya tenang, hanya kelompok itu yang memecahkan keheningan alam dengan irama rintihan kegundahan mereka, bagi mereka ketika terjadi ketidaksesuaian antara alam ide dan realita, maka spontanitas merespon peristiwa itu terjadi begitu saja.

Terdengar riuh beberapa orang mahasiswa bersorak di pelataran gedung kokoh berwarna putih nan menjulang tinggi tempat kelompok itu menggelar aksinya. Sebuah rutinitas ketika gelar mahasiswa telah berada dalam genggamannya, mengkritik semua realita yang mereka hadapi. Dengan berbagai alasan, entah karena panggilan hati nurani atau panggilan lembaran rupiah, entahlah aku tidak cukup bijak menilai aksi mereka dan juga aku belum punya alibi yang kuat untuk menghakimi perbuatan mereka.

Tentunya pengalaman ini pengalaman pertamaku menyaksikan secara langsung tanpa ada batas ruang dan waktu, begitu nyata dan begitu dekat, melihat aksi demonstrasi. Dengan cekatan kujelajajahi setiap lekuk orang – orang di sekitarku, apalagi dengan kelompok itu, kelompok berbalut warna duka, sorotan mataku memandang mereka begitu detil, seolah – olah hampir menelanjangi seluruh tubuh mereka yang masih tertutup rapi oleh pakaian yang mereka pakai, tak ada satupun bagian yang terlewati dari pandanganku seperti ingin mengumpulkan semua informasi tentang mereka.

Setelah puas memenuhi rasa penasaran jiwaku, lalu kulemparkan pandanganku di setiap sudut wilayah itu, sebuah universitas yang akan menjadi almamaterku kelak, universitas yang akan mempertemukanku dengan banyak hal, mulai dengan sahabat – sahabat baru, orang – orang yang mungkin akan begitu berarti bagiku dan mungkin pula aku akan menemukan banyak hal yang mampu menenangkanku dari semua kegundahan jiwaku.Masih berada dalam kerumunan orang – orang yang dari tadi tanpa bosan mendengar aspirasi kelompok berbalut warna duka yang begitu semangat, begitu membara, aku mencoba mencari tempat berteduh dari panas sengatan matahari. Karena aku sudah mendapat posisi yang menurutku strategis, aku masih saja tetap fokus melihat aksi kelompok berbalut warna duka itu. Karena menganggap itu sesuatu yang baru, maka tak ada satu hal pun yang akan terlewatkan bagiku.

“Mengapa mesti ada diskriminasi dalam pendidikan, hanya gara – gara calon mahasiswa baru yang mengikuti test masuk universitas tidak berpakaian “rapi dan sopan”, mestinya tidak ada hal yang membatasi ketika seseorang berjuang memenuhi hasrat pengetahuannya”.Begitulah garis merah yang bisa kutarik dari aksi kelompok berbalut warna duka itu, pada waktu itu aku dengan cepat menyetujuinya, bahwa dalam dunia pendidikan tidak boleh ada yang namanya batasan, diskriminasi atau apalah. Namun, sesaat kemudian sepertinya ada hal yang perlu dikritiki tentang statement mereka.

“Tetapi bukankah semakin berpendidikan seseorang mestinya dia akan lebih mengetahui sopan-santun, lebih beretika dan beradab. Bukankah sekolah atau lembaga pendidikan yang ada mempunyai visi yang tidak hanya membuat murid atau mahasiswanya menjadi cerdas tetapi juga beradab.

” Gumanku merespon reaksi mereka, sekalipun hal ini hanya sebatas perdebatan nuraniku.

“Bukannya mencoba untuk mendiskriminasikan mereka-mereka yang tidak berpakaian rapi dan sopan. Tetapi teguran itu sepantasnya dilakukan agar seseorang dapat membedakan pakaian apa yang mereka gunakan dan untuk kegiatan apa. Seseorang wanita misalnya tidak mungkin menggunakan high hells untuk berolahraga. Sama halnya dengan para peserta yang ingin mengikuti test atau ujian selayaknya mengenakan pakaian yang rapi dan sopan. Bukankah rapi dan sopan adalah bagian dari keindahan? Bukankah semua orang menyukai keindahan? Bukankah pula ajaran agama kita mengajarkan demikian? Bukankah ini juga upaya kita dalam berbuat adil pada tubuh dan keadaan sekitar?” sekelumit pertanyaan terus-menerus muncul hingga memenuhi sel-sel otakku yang begitu sempit akibat terik mentari.

Sesaat kemudian satu demi satu orang meninggalkan tempat itu, pertanda aksi itu sudah selesai, disertai dengan itu para komunitas hitam itu kini bersatu dengan keheningan alam. Betul – betul hening. Semua pergi dengan berbagai ekspresi, ada yang cuek, ada yang tersenyum entah dengan alasan apa, ada pula yang hanya diam tanpa respon, bisu.

“Ternyata kelompok berbalut warna duka itu bisa juga diam” gumanku dalam hati.

“Sudah capek berceloteh atau…, ah lupakan saja toch semua telah berakhir” gumanku mengakhiri perdebatan bathinku.Merasa puas dengan semuanya, kupaksa kakiku yang sudah letih untuk meninggalkan tempat itu, bersama dengan itu pandanganku masih tetap tertuju ke kelompok berbalut warna duka itu.

“Apakah pihak universitas akan merespon aksi mereka? Kalau iya, apa untungnya jika pihak universitas bereaksi dengan demonstrasi itu? Apa yang mereka harapkan dari aksi tadi? Atau aksi itu tidak perlu direspon bahkan mereka tidak menginginkannya, mereka hanya mengeluarkan penat di hati” pikirku, kali ini mereka betul-betul meneror sel-sel otakku.

Pulang ke rumah, sepertinya itulah yang sedari tadi ingin kulakukan. Akupun berjalan selangkah demi langkah meninggalkan kampus baruku itu. Namun pandangan mataku dengan segera terhenti dengan spontan pada sesosok pria yang mengapa bagiku dia tampak begitu berbeda dari pria – pria yang berada mengelilinginya.

“Dia punya aura yang begitu memukau” puji bathinku. Laksana mutiara di padang pasir, engkau begitu tampak.Tiba-tiba sebuah lukisan senyuman nan indah menghiasi figura wajahnya.

“Senyuman yang indah” puji bathinku lagi.Langkahku kini sontak berhenti, entah mengapa.

“Akankah aku akan bertemu dengan dirimu lagi?” tanyaku pada garis nasib hidupku.Selanjutnya pria jangkung nan hitam manis itu setiap saat selalu mencuri perhatianku, dia memiliki rahang uerignatik yang tegas di paras timur tengahnya. Sesosok pria yang kharismatik, sosok yang selanjutnya mengganggu ketentraman hatiku. Bayangannya terus mengganggu, setiap saat. Bahkan di saat kuterlena di alam bawah sadarku, berkutat dengan asa dan impian dalam wujud mimpi.

***

Dalam kehampaan kehidupan ini, kau hadir memberi warna pada diriku....
Kau melukis kisahmu pada kanvas hidupku dengan kuas cintaku
Meski di selanjutnya kesemuan dan kemustahilan mendapatkan dirimu
Namun, cukuplah sudah jika aku mencintaimu tanpa kau ketahui bahkan tanpa balasan darimu Kubiarkan kenangan tentangmu selalu berada dalam diary hatiku yang pernah kutulis dengan pena auramu.

Cinta Berbatas Usia

"Buah Nangka Buah kedondong, siapa sangka Rizha dapat berondong," ledek Reza sambil ketawa kecil, yang diejek langsung cemberut.

"Udah Reza, berhenti ledekin Rizha, kasian tuh wajahnya udah ditekuk 8 lipatan, kusut lagi," bela Rianti.

"Tau nih sirik amat, amat aja tidak sampe sirik kaya gitu juga," Rizha mulai berkomentar.

"Abis sejarah percintaanmu kali ini sangat lucu. Udah dijodohin, ternyata dapatnya berondong pula.Apa pesonamu udah habis dimakan usia, secara umur loe khan udah kepala 3, alias 35 tahun, udah diambang masa krisis buat nikah," Reza meledek lagi, seketika tangan Rizha sudah berada di pinggal Reza, kemudian mencubitnya.

"Aduh, sakit tau. Gila yah nyubit nggak kira-kira," ujar Reza sambil mengelus pinggang, betul-betul sakit cubitan cewek cantik itu.

"Kira-kira? Loe tuh yang harusnya kira-kira kalo ledekin orang. Lagian, please dong, jangan bawa-bawa umur. Mentang-mentang udah nikah, pilihan sendiri lagi," balas Rizha merenungi nasibnya.

"Lho Zha, kamu kok seperti menyesali keputusan orang tuamu sich?" tanya Rianti.

"Bagaimana tidak kalian berdua menikah dengan pilihan kalian dengan sosok yang kalian kenali. Sedangkan aku? Secara sekarang bukan zaman Siti Nurbaya lagi, tapi Siti Maesaroh," Jawab Rizha sebel.

"Aduh jangan marah dong neng, entar tuanya kelihatan tuh," Reza masih saja mengganggu sahabatnya itu.

"Au ah, gelap," jawab Rizha singkat.

"Neng, lagi gangguan mata yach? Wong matahari bersinar lagi cerah-cerahnya," ujar Reza ngeles.

"Reza...," teriak Rizha, lalu mencubit Reza lagi.

"Aduh, udah dong Zha. Entar kalo istriku lihat dikirain aku mau poligami ma elu. Idih amit-amit jabang bayi deh. Gue ogah nikah ma cewek cantik yang hobi nyubit, menderita tau," ujar Reza.

"Idih, siapa juga mau nikah ma cowok jahil kayak loe, apalagi jadi istri kedua. Kayak nggak ada cowok laen aja di dunia," ujar Rizha.

"Ehm..ehm, nyindir gue nih Zha," ujar Rianti dengan nada sedikit kesal dengan perkataan Rizha barusan, padahal Rizha tak bermaksud menyinggung perasaan sahabatnya yang satu itu.

"Nggak. Bukan itu maksudnya. Gue nggak lagi ngebahas loe, apalagi ngeledekin posisi loe sebagai istri kedua Pak Gunawan. Itu khan pilihan loe, lagian Pak Gunawan sepertinya mampu berbuat adil ma loe dan Mbak Karin," ujar Rizha mencoba menenangkan suasana, bagi Rizha, Rianti sosok cewek yang super sensitif, salah berkata atau bertingkah saja, bisa mengacaukan segalanya.

"Kirain," respon Rianti, kemudian meminum jus melon kesukaannya itu.

"Zha, loe yakin berondong loe bakal datang?" tanya Reza cuek, tangan Rizha sekali lagi mendarat di pinggang cowok berbadan seksi itu.

"Ampun Zha, sorry salah ngomong," ralat Reza.

"Yakin sih enggak, bahkan gue berharap kalo dia kagak bakalan datang. Gue doain dia sakit perut terus pengen buang air besar selama seharian atau saat lagi mangap ngirup udara, tiba-tiba ada lalat masuk ke tenggorokan dia terus, dia bakal kesakitan dan susah untuk bernapas, terus dilariin ke rumah sakit. He..he..," ujar Rizha penuh harapan.

Reza dan Rianti malah tertawa mendengar ucapan sahabatnya yang mulai rada stress menghadapi hidupnya.

"Kenapa kalian ketawa, emang ada yang lucu?" tanya Rizha, bloon.

"Loe nggak sadar ma ucapan loe barusan, asli gokil banget. Doain orang nggak datang gak segitunya kali Zha. Jahat lho doain yang aneh-aneh," ujar Reza, masih terus tertawa.

"Iya nih, aduh neng, nggak segitunya kali. Emang loe udah pernah ketemu ma cowok itu?" tanya Rianti.

"Belon," jawab Rizha singkat.

"Tapi loe tahukan namanya?" tanya Rinanti lagi.

"Kata Nyokap sih, namanya Farel," jawab Rizha, mencoba mengingat nama pria yang nantinya akan menemani hidupnya.

"Biar tahu namanya kalo nggak pernah ngeliat mana bisa kita tau kalo itu Farel," ujar Reza mencoba mengingatkan Rianti dan Rizha.

"Hari ini dia datang pake baju hitam dan celana jeans dengan warna senada. Dia bakalan datang lagi," jawab Rizha yakin. Yakin? Perasaan apa yang tiba-tiba merasukinya, Rizha seketika yakin Farel akan datang di tempat itu, ketemu saja tidak, mengapa Rizha sekarang yakin.

"Yakin banget loe Za, uda mulai ada rasa nih ma si Farel?" goda Rianti, kali ini bukan Reza lagi, bahkan kedua sahabatnya itu sekarang kompakan mengganggunya.

"Siapa yang yakin?," Rizha mencoba ngeles. Kali ini tiba-tiba dia terdiam, apa karena usianya yang membuat dia yakin Farel akan datang, yakin atau hanya meyakinkan diri. Rizha galau.

"Gue permisi ke toilet dulu yah," ujar Rizha, belum sempat Rizha pergi meninggalkan kursinya, tangan Rianti meraihnya.

"Loe marah yah Zha? Sorry deh, gue nggak bermaksud seperti itu kok," ujar Rianti dengan nada khawatir.

Rizha tersenyum, "Nggak, bukan karena itu kok, sumpah".

"Loe yakin Zha nggak papa dengan ucapan Rianti?" tanya Reza mencari kejujuran dari sikap Rizha.

"Iya nggak papa, gue udah kebelet nih," ujar Rizha, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Gue temani yah Zha," ajak Rianti.

"Iya," jawab Rizha, mereka berdua lantas meninggalkan Reza sendiri duduk di kedai kopi favoritmereka. Mereka bertiga bersahabat sejak SMA, sudah cukup lama memang. Mengingat usia mereka rata-rata kepala 3. Awal pertemuan mereka hingga menjadi sahabat di kedai ini, bahkan moccacino, menupilihan favorit mereka. Hobby mereka juga sama. Bahkan tanpa diduga, orang tua mereka bertigajuga bersahabatan, hal ini mereka ketahui saat orang tua mereka reunian. Mereka bertiga sangat terkejut saat tahu bahwa orang tua mereka saling mengenal, dunia memang sempit yang jeng, ujar Ibu Reza pada Mama Rizha dan Mama Rianti. Reuni itu menyatukan kenangan masa lalu orang tua mereka, bagaimana tidak pekerjaan dan status pernikahan yang memisahkan mereka, keluarga Reza berdomisili di Padang, Rizha di Makassar, hanya Rianti yang tetap berdomisili di Bandung. Sungguh persahabatan yang abadi. Ternyata tidak hanya gen yang bisa diturunkan tapi juga persahabatan.

"Zha, lho kok nangis sich," uar Rianti khawatir.

"Gue galau Ti, entah mengapa gue tadi sangat yakin akan kedatangan Farel, tepatnya gue sangat berharap dia bakal datang. Apa ini karena usia gue yang udah nggak muda lagi, udah umur 35 taontapi masih single. Belum lagi calon gua umurnya lebih mudah delapan taon dari gue, gue takut kalo entar kalo gue udah tambah tua, tepatnya lagi saat gue bener-bener cinta ma dia, terus di saat itu dia malah sibuk cari cewek seusia atau lebih muda dari dia dan parahnya bakal ninggalin gue. Gue nggak mau itu semua terjadi. Kalo masalah perjodohan sih gue udah pasrah, mungkin ini satu-satunya jalan ortu gue buat cepat dapet menantu buat gue," jawab Rizha lirih, air mata kini membasahi kedua pipi putih dan mulusnya.Rianti memberi beberapa lembar tissue.

"Aduh neng jangan nangis dong, entar ornag kira gueapa-apain loe, khan bahaya," goda Rianti mencoba membuat sahabatnya tersenyum sembari tangan kirinya mengirim pesan darurat buat Reza.

Reza, loe cepetan ke taman dpn toilet cewek yah, Zha lg nangis nih.

Iya, gue ke sana skarang.

Seketika pria satu-satunya dalam lingkaran persahabatan mereka itu datang menghampiri wanitanya.Diluar sangkaan Reza, Rizha yang melihat kedatangan sahabatnya itu, lalu berlari kecil memeluknya.

"Loe kenapa Zha?" tanya Reza gagap. Entah mengapa tiba-tiba ada perasaan sedih juga menghampirihati Reza diam-diam.

"Kita cari tempat duduk yah Zha, orang-orang liatin kita nih. Gue rada risih," ujar Reza.Tiba-tiba Rizha melepas dekapannya.

"Risih, kenapa loe risih dipeluk perawan berusia 35 taon ya Reza," teriak Rizha memecahkan keheningan kedai kopi yang sangat tenang itu, kini hampir semua mata tertuju pada mereka bertiga.

"Loe tenang yah Zha. Gue nggak bermaksud kayak gitu. Loe tenang yah," bujuk Reza.

"Nggak usah cari alasan deh," ucap Rizha kecewa dan marah.

"Zha, tenang yah. Ini tempat umum, loe jangan teriak kayak gitu. Nggak malu diliatin orang, orang-orang bisa tau apa yang loe alami selama ini, mau loe?" ujar Rianti yang terkesan tega.

Rizha hanya diam, kemudian mengikuti arahan Reza duduk di bangku taman itu."Loe kenap Zha?" tanya Reza prihatin.

"Gue galau, apa masih ada yang mau sama perawan tiga puluh lima tahun ini," ujar Rizha.

"Kalo kamu mau, aku bersedia nikah sama kamu," ujar pria berahang eurignatik itu, tiba-tiba memecahkan kegalaun Rizha dan sahabatnya.

"Anda siapa?" tanya Reza sopan, tidak memakai aksen loe-gue-nya. Pria itu lantas mengulurkan tangannya.

"Saya Farel Aditya, calon suami Rizha. Itupun kalau Zha-nya bersedia," ujar Farel memperkenalkan dirinya.

"O... jadi kamu yang bernama Farel," ujar Reza takjub melihat Farel. Tampilan Farel tidak seperti orang yang berusia 27 tahun, penampilannya begitu dewasa dari usianya. Tampan, tinggi, punya sosot mata yang tajam, dan to the point, pria yang tepat, aku Reza.

"Gimana tawaranku yang barusan?" tanya Farel lagi. Rizha yang sedari tadi hanya diam dan menangis, lalu berkata "Loe nggak lagi sakitkan, gue bukan cewek yang tepat buat lho. Gue udah terlalu tua".

"Tapi aku cinta ma kamu," ucap Farel sopan, tapi Rizha tetap saja berbicara dengan aksen loe-gue-nya.

"Apa yang loe harapin dari cewek kayak gue?" tanya Rizha, Reza dan Rianti sadar, kalo Rizha cewek paling jutek, mereka berdua lalu memisahkan Rizha dan Farel, takut Rizha tiba-tiba berkata yang tidak-tidak atau berkelakuan aneh. Rizha tetap di taman bersama Rianti dan Reza mengajak Farel masuk ke kedai kopi dan duduk di tempat mereka semula.

"Zha, eling. Zha," ujar Rianti sembari memberikan segelas air mineral untuk Rizha.

"Gila apa tu cowok. Apa ortu gue ngerasa, gue uda nggak laku sampe mau dikasih ma berondong itu,"ujar Rizha lirih. Belum sempat Rianti menjawab pernyataan Rizha, handphone Rizha berdering. Lagu Let's get the beatnya Dirly Idol menggema dari speaker handphone Rizha. Nama Mamanya tampil di monitor handphonenya.

"Ada apa Ma," ujar Rizha membuka percakapannya dengan sang bunda.

"Zha, Farel udah tiba di sana khan?" tanya bunda.

"Udah," jawab Rizha singkat.

"Gimana orang cocok ma kamu khan, sayang?" tanya bunda di seberang sana.

"Mama yakin pria berusia 27 taon itu mau menikah ma cewek tua, berusia 32 taon ini?" tanya Rizhamencoba mencari pembenaran, apa benar masih ada berondong sudi memperistrikan dirinya.

"Sayang, Farel itu anaknya baik. Dia anak sahabat Papa",

"Bukan itu yang Rizha tanyakan Ma", potong Rizha, dalam beberapa saat kedua wanita itu hanyadiam, di seberang sana serang bunda merasa sedih mendengar perkataan anak gadisnya itu, segitukah ketidakpercayaan Rizha terhadap cinta, cinta tak pernah mengenal waktu dan tempat, tak mengenal ras dan suku bangsa, juga tak mengenal umur dan selisih usia, sedangkan anakgadisnya tetap saja sedih, bingung dan menungggu jawaban ibunya.

"Cobalah buka hatimu, sayang. Mama yakin Farel pria yang tepat untukmu," ujar bundanya.

"Mama juga yakin sewaktu Mama menikah dengan Papa yang usianya lebih tua enam taon dari Mama. Mama juga yakin sewaktu bercerai dengan Papa? Apa Rizha mesti harus yakin lagi dengan perkataan Mama, yang Mama sendiri nggak bisa pertanggungjawabkan?" tanya Rizha membuat suara wanita di seberang sana tak bergema untuk sesaat.

"Zha, udah dong. Kamu sekarang lagi bicara ma Mama kamu," tegur Rianti, kemudian mengambil handphone Rizha,

"Bu, ini Rianti. Maafkan perbuatan Zha yah Bu. Biar nanti kami yang urus, Ibu tenang saja. Selamat sore Bu," ujar Rianti menenangkan percekcokan kedua wanita itu.

"Gue..," belum selesai Rizha berbicara, tiba-tiba tangan Reza memegang tangannya dan menarik Rizha menuju ke dalam kedai kopi, entah apa yang telah Farel bicarakan dengan Reza, sampai sahabatnya itu tega menariknya bertemu dengan pria itu, bahkan tidak mengubris penolakan Rizha.

Kini Rizha telah duduk di hadapan Farel, mereka hanya berdua saja. Rianti dan Reza mengambil posisi duduk tepat di belakang meja mereka. Satu menit, dua menit, kini bahkan sudah hitungan menit ke-lima belas, Rizha dan Farel masih diam membisu. Rizha diam merenungi keadaannya, Farel diam memilih kata yang tepat untuk memulai pembicaraan dengan wanita berkondisi galau di depannya itu. Tiba-tiba Rizha berdiri, mengambil tasnya, berbenah segera ingin meninggalkan tempat itu, tiba-tiba tangan Farel menggenggam tangannya.

"Zha, jangan pulang yah," ujar Farel, Rizha hanya terdiam, kemudian melepaskan genggaman tangan Farel tapi tetap membenahi semua tasnya, memasukkan laptotnya, buku agenda meetingnya, dan alat tulis-menulisnya.

"Ok, kalo kamu mau pulang biar aku yang antar, gimana?" tawar Farel.

"Tidak, terima kasih Tuan Farel," tolak Farel, Rizha kemudian berlari meninggalkannya, bahkan tanpa berpamitan pada dua sahabatnya itu. Farel hanya tersenyum pada Rianti dan Reza, pertanda pamit, duluan meninggalkan mereka berdua. Kemudian berlari mengejar Rizha.

Minggu, 01 November 2009

Menemukanmu

Setelah sekian lama mencarimu, akhirnya ku menemukanmu.

Menemukanmu seakan memberi sensari yang luar biasa.
Seperti sensasi yang dirasakan Einsten saat berhasil menghipnosis jutaan orang dengab 'teori relativitasnya'
Atau sensasi seperti yang Bill Gates rasakan saat memperkenalkan kepada dunia sistem operasi windows
Atau mungkin juga seperti saat Raden Ajeng Kartini merasakan sensasi yang luar biasaa ketika berhasil menghantar wanita Indonesia keluar dari belenggu diskriminasi.

Berlebihan mungkin analogi yang saya sebutkan, tapi arti hadirmu bak mujizat dalam hidupku.

Meski ku tahu
Saat menemukanmu, kau telah bersama dengan wanita yang baru
Namun, aku tak peduli
Aku juga tak ingin menghancurkan jalinan kasih yang telah kau jalani bersamanya, tidak!!

Menemukanmu dan melihatmu bahagia adalah hal terpenting bagiku
Sama urgentnya dengan kebutuhan manusia atas senyawa O2

Memilikimu???
TIDAK jika inginmu bukan bersamaku....