Minggu, 15 November 2009

GOOD LAWYER

Judul Buku : GOOD LAWYER
Penulis : Zara Zetira ZR dan Blogger Indonesia.
Penerbit : Rose Heart Publishing
Dicetak oleh : PT. Gramedia
Ukuran Buku : 134 mm x 199 mm x 12 mm
Jumlah Halaman : 306 lembar + 2 lembar sampul
Content Buku :

Buku ini adalah buku kumpulan cerita-cerita pendek bertemakan hukum yang merupakan karya para Blogger Indonesia yang tergabung dalam Rose Heart Writers (RHW) yang didukung sepenuhnya oleh penulis kondang Zara Zettira ZR.

Adapun keberagaman cerita dalam buku ini merupakan implementasi dari kebaragaman para penulisnya sendiri, tak terelakkan juga adanya pengaruh etnis dan paradigma mereka memandang kesusasastraan sebagai media pembelajaran hukum yang cukup relevan.

ESPECIALLY FOR YOU

Judul Buku : ESPECIALLY FOR YOU
Penulis : Risa Amrikasari
Penerbit : Rose Heart Publishing
Dicetak oleh : PT. Gramedia
Ukuran Buku : 109 mm x 174 mm x 20mm
Jumlah Halaman : 352 lembar + 2 lembar sampul
Content Buku :

Especially For You adalah buku kumpulan artikel motivasi diri yang ditulis oleh Risa Amrikasari yang merupakan sebagian kecil dari artikel pilihan yang dibuatnya selama tiga tahun terakhir ini. Sebagian besar dari artikel yang ada di buku ini dibuat berdasarkan pengalaman pribadi sang penulis yang senantiasa mengamati peristiwa-peristiwa di sekitarnya, terutama hal yang berkaitan dengan perempuan.

Sabtu, 14 November 2009

MISTISKAH ATAU KETIDAKMAMPUAN PENYEBABNYA!!!

PONARI!! Nama yang satu ini, akhir-akhir ini menjadi buah bibir bagi para pencari berita. Bagaimana tidak, seorang bocah kelas 3 SD, tiba-tiba hadir menjadi seorang yang mampu menyembuhkan penyakit orang lain, yang kalau di negeri kita, orang-orang semacam dirinya, yang pandai mengobati tanpa melewati jenjang resmi pendidikan kesehatan ataupun kedokteran dikenal dengan sebutan DUKUN.

PONARI dalam minggu-minggu terakhir ini hadir sebagai DUKUN CILIK yang sakti pula. Kesaktiannya itu tersebar ke beberapa tempat tersohor, apalagi dengan bantuan para pencari berita, sungguh informasi ini tak terbendung meluas.

Kamis, 12 November 2009

STOP GLOBAL WARMING

Isu global warming memang marak disuarakan beberapa tahun ini, tapi tahukah kamu bahwa 'The King of Pop' Michael Jackson sudah memperlihatkan kepeduliannya terhadap hal tersebut setidaknya sekitar 10 atau 15 tahun yang lalu, hal itu terbukti lewat lagunya yang berjudul 'Heal The World', tak hanya sampai di situ saja, Jacko (sapaan akrab sang Raja Pop ini) jugamembuktikannya dengan mendirikan yayasan yang didedikasikan selain untuk anak-anak juga sebagai wujud kontribusinya terhadap dunia yang dananya bersumber dari hasil penjualan album dan konsernya.

Ada juga salah satu band di negara kita yang menamakan grup bandnya dengan sebutan 'Efek Rumah Kaca', hal ini mereka lakukan sebagai wujud peduli mereka terhadap isu global warming, penamaan grup band mereka itu diharapkan dapat mengingatkan kita tentang bahayanya efek rumah kaca, jadi setiap kali kalian mendengar nama grup band itu diharapkan adanya kesadaran agar kita mau menjaga bumi ini.

Jacko dan band Efek Rumah Kaca tak hanya menyuarakan isu global warming dengan lantang, tapi juga membuktikannya, BAGAIMANA DENGAN LOE??

RENUNGAN SANG SUARA SUCI

Belum juga bangsa ini menyatukan puing-puing ketegarannya atas semua cobaan yang memilukan semua raga rakyatnya, berlanjut lagi kegalauan menampar keras meninggalkan tapak merah bekas kesedihannya. Kini wajah-wajah sarasehan bangsa merah putih ini bak lukisan bendera putih yang berhias gegana hitam. Lukisan kedukaan bangsa yangtiada henti-hentinya diberi eksamen.

***

Ketika kusempatkan diriku merenungi semua peristiwa-peristiwa kelam yang kini menjadi sebuah cerita yang tiada berakhiryang menimpa bangsaku, sosok malaikat kematian yang sibuk mengabsen nama calon-calon pengikutnya membayangi setiap sudut mataku.

Di setiap kedipan mataku, silih berganti drama kedukaan bum pertiwi ini antrian ingin memperlihatkan kekelamanya padaku.

"Tuhan, apa salah insan bumi khatulistiwa ini pada-Mu?".

POLEMIK WANITA - TERIK MATAHARI, TIMBANGAN DAN RAMUAN KECANTIKAN

Tepat pukul 14.25, saat terik matahari mulai mengalah membakarhangus atau setidaknya memanasi bumi. Andika mengajakku bermainbasket di halaman rumahnya bersama teman-teman kelasku di SMAN 1 Cakrawala. Aku pun merespon ajakan itu dengan gerakan tubuh berjingkrak-jingkrak--memberi kesan sangat bahagia.

Aku lalu masuk ke kamar mengambil sport shoes-ku dan mengganti bajuku, kemudian berlari menuruni tangga menuju teras menghampiri Andika yang sudah menungguku, tiba-tiba suara Mom--panggilan kesayanganku dan kakak-kakakku terhadap Ibu, menghalangi kepergianku, "Anggun, mau kemana?"

"Ke rumah Andika", jawabku singkat.

Mom kemudian berjalan mendekatiku, melihat penampilanku, lalu bertanya pada Andika, "Kalian tidak akan belajar kelompokkan?"

"Tidak Bu, kami mau main basket", jawab Andika sopan.

"Tapi cuaca sangat cerah bahkan terasa panas saat ini, sebaiknya kalian bermain basket jam 4 saja", komentar Ibu.

"Tapi teman-temanku sudah keburu pulang Mom", ujarku manja, berharap Mom mau menerima alasan klise-ku disertai dengan raut wajah yang ku buat cukup memelas, itu menurutku.

"Terik matahari bukan sesuatu yang baik untukmu Anggun, mengerti!"

RONA INDAH YANG TERTINGGAL DI PELATARAN

Hari ini adalah hari kedua ujian seleksi penerimaan mahasiswa baru di kampus itu. Setelah selesai berkutat mengutak-atik semua isi memori otakku, mengumpulkan semua informasi yang pernah menetap dan tinggal, agar bias menjawab soal-soal tersebut, kuputuskan untuk segera pulang ke rumah mengistirahatkan tubuh dan otakku yang sudah sangat lelah. Namun, ketika aku beranjak meninggalkan ruangan test menuju pintu gerbang universitas yang berjarak sekitar 50 meter langkahku terhenti, bukan, bukan karena kepalaku tiba-tiba nyut-nyut tidak karuan karena telah bekerja keras menjawab soal-soal itu, bukan juga karena perutku yang sedang demontrasi karena belum diberi keadilan ‘sarapan pagi’, tapi ada peristiwa yang mengundangku untuk melihatnya meski hanya sekilas.

Tertarik dengan keadaan yang begitu baru bagiku dengan status sosial yang tidak pasti mengingat aku bukan lagi seorang siswi SMA dan belum juga terdaftar sebagai seorang mahasiswi, naluri penasaranku bangkit, dengan segera kulangkahkan kakiku menuju kerumunan itu, selanjutnya kudapati diriku telah berada dalam kerumunan itu, ya menjadi salah satu bagian dari mereka, sayangnya hanya sebagai unsur pelengkap saja. Semuanya tenang, hanya kelompok itu yang memecahkan keheningan alam dengan irama rintihan kegundahan mereka, bagi mereka ketika terjadi ketidaksesuaian antara alam ide dan realita, maka spontanitas merespon peristiwa itu terjadi begitu saja.

Terdengar riuh beberapa orang mahasiswa bersorak di pelataran gedung kokoh berwarna putih nan menjulang tinggi tempat kelompok itu menggelar aksinya. Sebuah rutinitas ketika gelar mahasiswa telah berada dalam genggamannya, mengkritik semua realita yang mereka hadapi. Dengan berbagai alasan, entah karena panggilan hati nurani atau panggilan lembaran rupiah, entahlah aku tidak cukup bijak menilai aksi mereka dan juga aku belum punya alibi yang kuat untuk menghakimi perbuatan mereka.

Tentunya pengalaman ini pengalaman pertamaku menyaksikan secara langsung tanpa ada batas ruang dan waktu, begitu nyata dan begitu dekat, melihat aksi demonstrasi. Dengan cekatan kujelajajahi setiap lekuk orang – orang di sekitarku, apalagi dengan kelompok itu, kelompok berbalut warna duka, sorotan mataku memandang mereka begitu detil, seolah – olah hampir menelanjangi seluruh tubuh mereka yang masih tertutup rapi oleh pakaian yang mereka pakai, tak ada satupun bagian yang terlewati dari pandanganku seperti ingin mengumpulkan semua informasi tentang mereka.

Setelah puas memenuhi rasa penasaran jiwaku, lalu kulemparkan pandanganku di setiap sudut wilayah itu, sebuah universitas yang akan menjadi almamaterku kelak, universitas yang akan mempertemukanku dengan banyak hal, mulai dengan sahabat – sahabat baru, orang – orang yang mungkin akan begitu berarti bagiku dan mungkin pula aku akan menemukan banyak hal yang mampu menenangkanku dari semua kegundahan jiwaku.Masih berada dalam kerumunan orang – orang yang dari tadi tanpa bosan mendengar aspirasi kelompok berbalut warna duka yang begitu semangat, begitu membara, aku mencoba mencari tempat berteduh dari panas sengatan matahari. Karena aku sudah mendapat posisi yang menurutku strategis, aku masih saja tetap fokus melihat aksi kelompok berbalut warna duka itu. Karena menganggap itu sesuatu yang baru, maka tak ada satu hal pun yang akan terlewatkan bagiku.

“Mengapa mesti ada diskriminasi dalam pendidikan, hanya gara – gara calon mahasiswa baru yang mengikuti test masuk universitas tidak berpakaian “rapi dan sopan”, mestinya tidak ada hal yang membatasi ketika seseorang berjuang memenuhi hasrat pengetahuannya”.Begitulah garis merah yang bisa kutarik dari aksi kelompok berbalut warna duka itu, pada waktu itu aku dengan cepat menyetujuinya, bahwa dalam dunia pendidikan tidak boleh ada yang namanya batasan, diskriminasi atau apalah. Namun, sesaat kemudian sepertinya ada hal yang perlu dikritiki tentang statement mereka.

“Tetapi bukankah semakin berpendidikan seseorang mestinya dia akan lebih mengetahui sopan-santun, lebih beretika dan beradab. Bukankah sekolah atau lembaga pendidikan yang ada mempunyai visi yang tidak hanya membuat murid atau mahasiswanya menjadi cerdas tetapi juga beradab.

” Gumanku merespon reaksi mereka, sekalipun hal ini hanya sebatas perdebatan nuraniku.

“Bukannya mencoba untuk mendiskriminasikan mereka-mereka yang tidak berpakaian rapi dan sopan. Tetapi teguran itu sepantasnya dilakukan agar seseorang dapat membedakan pakaian apa yang mereka gunakan dan untuk kegiatan apa. Seseorang wanita misalnya tidak mungkin menggunakan high hells untuk berolahraga. Sama halnya dengan para peserta yang ingin mengikuti test atau ujian selayaknya mengenakan pakaian yang rapi dan sopan. Bukankah rapi dan sopan adalah bagian dari keindahan? Bukankah semua orang menyukai keindahan? Bukankah pula ajaran agama kita mengajarkan demikian? Bukankah ini juga upaya kita dalam berbuat adil pada tubuh dan keadaan sekitar?” sekelumit pertanyaan terus-menerus muncul hingga memenuhi sel-sel otakku yang begitu sempit akibat terik mentari.

Sesaat kemudian satu demi satu orang meninggalkan tempat itu, pertanda aksi itu sudah selesai, disertai dengan itu para komunitas hitam itu kini bersatu dengan keheningan alam. Betul – betul hening. Semua pergi dengan berbagai ekspresi, ada yang cuek, ada yang tersenyum entah dengan alasan apa, ada pula yang hanya diam tanpa respon, bisu.

“Ternyata kelompok berbalut warna duka itu bisa juga diam” gumanku dalam hati.

“Sudah capek berceloteh atau…, ah lupakan saja toch semua telah berakhir” gumanku mengakhiri perdebatan bathinku.Merasa puas dengan semuanya, kupaksa kakiku yang sudah letih untuk meninggalkan tempat itu, bersama dengan itu pandanganku masih tetap tertuju ke kelompok berbalut warna duka itu.

“Apakah pihak universitas akan merespon aksi mereka? Kalau iya, apa untungnya jika pihak universitas bereaksi dengan demonstrasi itu? Apa yang mereka harapkan dari aksi tadi? Atau aksi itu tidak perlu direspon bahkan mereka tidak menginginkannya, mereka hanya mengeluarkan penat di hati” pikirku, kali ini mereka betul-betul meneror sel-sel otakku.

Pulang ke rumah, sepertinya itulah yang sedari tadi ingin kulakukan. Akupun berjalan selangkah demi langkah meninggalkan kampus baruku itu. Namun pandangan mataku dengan segera terhenti dengan spontan pada sesosok pria yang mengapa bagiku dia tampak begitu berbeda dari pria – pria yang berada mengelilinginya.

“Dia punya aura yang begitu memukau” puji bathinku. Laksana mutiara di padang pasir, engkau begitu tampak.Tiba-tiba sebuah lukisan senyuman nan indah menghiasi figura wajahnya.

“Senyuman yang indah” puji bathinku lagi.Langkahku kini sontak berhenti, entah mengapa.

“Akankah aku akan bertemu dengan dirimu lagi?” tanyaku pada garis nasib hidupku.Selanjutnya pria jangkung nan hitam manis itu setiap saat selalu mencuri perhatianku, dia memiliki rahang uerignatik yang tegas di paras timur tengahnya. Sesosok pria yang kharismatik, sosok yang selanjutnya mengganggu ketentraman hatiku. Bayangannya terus mengganggu, setiap saat. Bahkan di saat kuterlena di alam bawah sadarku, berkutat dengan asa dan impian dalam wujud mimpi.

***

Dalam kehampaan kehidupan ini, kau hadir memberi warna pada diriku....
Kau melukis kisahmu pada kanvas hidupku dengan kuas cintaku
Meski di selanjutnya kesemuan dan kemustahilan mendapatkan dirimu
Namun, cukuplah sudah jika aku mencintaimu tanpa kau ketahui bahkan tanpa balasan darimu Kubiarkan kenangan tentangmu selalu berada dalam diary hatiku yang pernah kutulis dengan pena auramu.

Cinta Berbatas Usia

"Buah Nangka Buah kedondong, siapa sangka Rizha dapat berondong," ledek Reza sambil ketawa kecil, yang diejek langsung cemberut.

"Udah Reza, berhenti ledekin Rizha, kasian tuh wajahnya udah ditekuk 8 lipatan, kusut lagi," bela Rianti.

"Tau nih sirik amat, amat aja tidak sampe sirik kaya gitu juga," Rizha mulai berkomentar.

"Abis sejarah percintaanmu kali ini sangat lucu. Udah dijodohin, ternyata dapatnya berondong pula.Apa pesonamu udah habis dimakan usia, secara umur loe khan udah kepala 3, alias 35 tahun, udah diambang masa krisis buat nikah," Reza meledek lagi, seketika tangan Rizha sudah berada di pinggal Reza, kemudian mencubitnya.

"Aduh, sakit tau. Gila yah nyubit nggak kira-kira," ujar Reza sambil mengelus pinggang, betul-betul sakit cubitan cewek cantik itu.

"Kira-kira? Loe tuh yang harusnya kira-kira kalo ledekin orang. Lagian, please dong, jangan bawa-bawa umur. Mentang-mentang udah nikah, pilihan sendiri lagi," balas Rizha merenungi nasibnya.

"Lho Zha, kamu kok seperti menyesali keputusan orang tuamu sich?" tanya Rianti.

"Bagaimana tidak kalian berdua menikah dengan pilihan kalian dengan sosok yang kalian kenali. Sedangkan aku? Secara sekarang bukan zaman Siti Nurbaya lagi, tapi Siti Maesaroh," Jawab Rizha sebel.

"Aduh jangan marah dong neng, entar tuanya kelihatan tuh," Reza masih saja mengganggu sahabatnya itu.

"Au ah, gelap," jawab Rizha singkat.

"Neng, lagi gangguan mata yach? Wong matahari bersinar lagi cerah-cerahnya," ujar Reza ngeles.

"Reza...," teriak Rizha, lalu mencubit Reza lagi.

"Aduh, udah dong Zha. Entar kalo istriku lihat dikirain aku mau poligami ma elu. Idih amit-amit jabang bayi deh. Gue ogah nikah ma cewek cantik yang hobi nyubit, menderita tau," ujar Reza.

"Idih, siapa juga mau nikah ma cowok jahil kayak loe, apalagi jadi istri kedua. Kayak nggak ada cowok laen aja di dunia," ujar Rizha.

"Ehm..ehm, nyindir gue nih Zha," ujar Rianti dengan nada sedikit kesal dengan perkataan Rizha barusan, padahal Rizha tak bermaksud menyinggung perasaan sahabatnya yang satu itu.

"Nggak. Bukan itu maksudnya. Gue nggak lagi ngebahas loe, apalagi ngeledekin posisi loe sebagai istri kedua Pak Gunawan. Itu khan pilihan loe, lagian Pak Gunawan sepertinya mampu berbuat adil ma loe dan Mbak Karin," ujar Rizha mencoba menenangkan suasana, bagi Rizha, Rianti sosok cewek yang super sensitif, salah berkata atau bertingkah saja, bisa mengacaukan segalanya.

"Kirain," respon Rianti, kemudian meminum jus melon kesukaannya itu.

"Zha, loe yakin berondong loe bakal datang?" tanya Reza cuek, tangan Rizha sekali lagi mendarat di pinggang cowok berbadan seksi itu.

"Ampun Zha, sorry salah ngomong," ralat Reza.

"Yakin sih enggak, bahkan gue berharap kalo dia kagak bakalan datang. Gue doain dia sakit perut terus pengen buang air besar selama seharian atau saat lagi mangap ngirup udara, tiba-tiba ada lalat masuk ke tenggorokan dia terus, dia bakal kesakitan dan susah untuk bernapas, terus dilariin ke rumah sakit. He..he..," ujar Rizha penuh harapan.

Reza dan Rianti malah tertawa mendengar ucapan sahabatnya yang mulai rada stress menghadapi hidupnya.

"Kenapa kalian ketawa, emang ada yang lucu?" tanya Rizha, bloon.

"Loe nggak sadar ma ucapan loe barusan, asli gokil banget. Doain orang nggak datang gak segitunya kali Zha. Jahat lho doain yang aneh-aneh," ujar Reza, masih terus tertawa.

"Iya nih, aduh neng, nggak segitunya kali. Emang loe udah pernah ketemu ma cowok itu?" tanya Rianti.

"Belon," jawab Rizha singkat.

"Tapi loe tahukan namanya?" tanya Rinanti lagi.

"Kata Nyokap sih, namanya Farel," jawab Rizha, mencoba mengingat nama pria yang nantinya akan menemani hidupnya.

"Biar tahu namanya kalo nggak pernah ngeliat mana bisa kita tau kalo itu Farel," ujar Reza mencoba mengingatkan Rianti dan Rizha.

"Hari ini dia datang pake baju hitam dan celana jeans dengan warna senada. Dia bakalan datang lagi," jawab Rizha yakin. Yakin? Perasaan apa yang tiba-tiba merasukinya, Rizha seketika yakin Farel akan datang di tempat itu, ketemu saja tidak, mengapa Rizha sekarang yakin.

"Yakin banget loe Za, uda mulai ada rasa nih ma si Farel?" goda Rianti, kali ini bukan Reza lagi, bahkan kedua sahabatnya itu sekarang kompakan mengganggunya.

"Siapa yang yakin?," Rizha mencoba ngeles. Kali ini tiba-tiba dia terdiam, apa karena usianya yang membuat dia yakin Farel akan datang, yakin atau hanya meyakinkan diri. Rizha galau.

"Gue permisi ke toilet dulu yah," ujar Rizha, belum sempat Rizha pergi meninggalkan kursinya, tangan Rianti meraihnya.

"Loe marah yah Zha? Sorry deh, gue nggak bermaksud seperti itu kok," ujar Rianti dengan nada khawatir.

Rizha tersenyum, "Nggak, bukan karena itu kok, sumpah".

"Loe yakin Zha nggak papa dengan ucapan Rianti?" tanya Reza mencari kejujuran dari sikap Rizha.

"Iya nggak papa, gue udah kebelet nih," ujar Rizha, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Gue temani yah Zha," ajak Rianti.

"Iya," jawab Rizha, mereka berdua lantas meninggalkan Reza sendiri duduk di kedai kopi favoritmereka. Mereka bertiga bersahabat sejak SMA, sudah cukup lama memang. Mengingat usia mereka rata-rata kepala 3. Awal pertemuan mereka hingga menjadi sahabat di kedai ini, bahkan moccacino, menupilihan favorit mereka. Hobby mereka juga sama. Bahkan tanpa diduga, orang tua mereka bertigajuga bersahabatan, hal ini mereka ketahui saat orang tua mereka reunian. Mereka bertiga sangat terkejut saat tahu bahwa orang tua mereka saling mengenal, dunia memang sempit yang jeng, ujar Ibu Reza pada Mama Rizha dan Mama Rianti. Reuni itu menyatukan kenangan masa lalu orang tua mereka, bagaimana tidak pekerjaan dan status pernikahan yang memisahkan mereka, keluarga Reza berdomisili di Padang, Rizha di Makassar, hanya Rianti yang tetap berdomisili di Bandung. Sungguh persahabatan yang abadi. Ternyata tidak hanya gen yang bisa diturunkan tapi juga persahabatan.

"Zha, lho kok nangis sich," uar Rianti khawatir.

"Gue galau Ti, entah mengapa gue tadi sangat yakin akan kedatangan Farel, tepatnya gue sangat berharap dia bakal datang. Apa ini karena usia gue yang udah nggak muda lagi, udah umur 35 taontapi masih single. Belum lagi calon gua umurnya lebih mudah delapan taon dari gue, gue takut kalo entar kalo gue udah tambah tua, tepatnya lagi saat gue bener-bener cinta ma dia, terus di saat itu dia malah sibuk cari cewek seusia atau lebih muda dari dia dan parahnya bakal ninggalin gue. Gue nggak mau itu semua terjadi. Kalo masalah perjodohan sih gue udah pasrah, mungkin ini satu-satunya jalan ortu gue buat cepat dapet menantu buat gue," jawab Rizha lirih, air mata kini membasahi kedua pipi putih dan mulusnya.Rianti memberi beberapa lembar tissue.

"Aduh neng jangan nangis dong, entar ornag kira gueapa-apain loe, khan bahaya," goda Rianti mencoba membuat sahabatnya tersenyum sembari tangan kirinya mengirim pesan darurat buat Reza.

Reza, loe cepetan ke taman dpn toilet cewek yah, Zha lg nangis nih.

Iya, gue ke sana skarang.

Seketika pria satu-satunya dalam lingkaran persahabatan mereka itu datang menghampiri wanitanya.Diluar sangkaan Reza, Rizha yang melihat kedatangan sahabatnya itu, lalu berlari kecil memeluknya.

"Loe kenapa Zha?" tanya Reza gagap. Entah mengapa tiba-tiba ada perasaan sedih juga menghampirihati Reza diam-diam.

"Kita cari tempat duduk yah Zha, orang-orang liatin kita nih. Gue rada risih," ujar Reza.Tiba-tiba Rizha melepas dekapannya.

"Risih, kenapa loe risih dipeluk perawan berusia 35 taon ya Reza," teriak Rizha memecahkan keheningan kedai kopi yang sangat tenang itu, kini hampir semua mata tertuju pada mereka bertiga.

"Loe tenang yah Zha. Gue nggak bermaksud kayak gitu. Loe tenang yah," bujuk Reza.

"Nggak usah cari alasan deh," ucap Rizha kecewa dan marah.

"Zha, tenang yah. Ini tempat umum, loe jangan teriak kayak gitu. Nggak malu diliatin orang, orang-orang bisa tau apa yang loe alami selama ini, mau loe?" ujar Rianti yang terkesan tega.

Rizha hanya diam, kemudian mengikuti arahan Reza duduk di bangku taman itu."Loe kenap Zha?" tanya Reza prihatin.

"Gue galau, apa masih ada yang mau sama perawan tiga puluh lima tahun ini," ujar Rizha.

"Kalo kamu mau, aku bersedia nikah sama kamu," ujar pria berahang eurignatik itu, tiba-tiba memecahkan kegalaun Rizha dan sahabatnya.

"Anda siapa?" tanya Reza sopan, tidak memakai aksen loe-gue-nya. Pria itu lantas mengulurkan tangannya.

"Saya Farel Aditya, calon suami Rizha. Itupun kalau Zha-nya bersedia," ujar Farel memperkenalkan dirinya.

"O... jadi kamu yang bernama Farel," ujar Reza takjub melihat Farel. Tampilan Farel tidak seperti orang yang berusia 27 tahun, penampilannya begitu dewasa dari usianya. Tampan, tinggi, punya sosot mata yang tajam, dan to the point, pria yang tepat, aku Reza.

"Gimana tawaranku yang barusan?" tanya Farel lagi. Rizha yang sedari tadi hanya diam dan menangis, lalu berkata "Loe nggak lagi sakitkan, gue bukan cewek yang tepat buat lho. Gue udah terlalu tua".

"Tapi aku cinta ma kamu," ucap Farel sopan, tapi Rizha tetap saja berbicara dengan aksen loe-gue-nya.

"Apa yang loe harapin dari cewek kayak gue?" tanya Rizha, Reza dan Rianti sadar, kalo Rizha cewek paling jutek, mereka berdua lalu memisahkan Rizha dan Farel, takut Rizha tiba-tiba berkata yang tidak-tidak atau berkelakuan aneh. Rizha tetap di taman bersama Rianti dan Reza mengajak Farel masuk ke kedai kopi dan duduk di tempat mereka semula.

"Zha, eling. Zha," ujar Rianti sembari memberikan segelas air mineral untuk Rizha.

"Gila apa tu cowok. Apa ortu gue ngerasa, gue uda nggak laku sampe mau dikasih ma berondong itu,"ujar Rizha lirih. Belum sempat Rianti menjawab pernyataan Rizha, handphone Rizha berdering. Lagu Let's get the beatnya Dirly Idol menggema dari speaker handphone Rizha. Nama Mamanya tampil di monitor handphonenya.

"Ada apa Ma," ujar Rizha membuka percakapannya dengan sang bunda.

"Zha, Farel udah tiba di sana khan?" tanya bunda.

"Udah," jawab Rizha singkat.

"Gimana orang cocok ma kamu khan, sayang?" tanya bunda di seberang sana.

"Mama yakin pria berusia 27 taon itu mau menikah ma cewek tua, berusia 32 taon ini?" tanya Rizhamencoba mencari pembenaran, apa benar masih ada berondong sudi memperistrikan dirinya.

"Sayang, Farel itu anaknya baik. Dia anak sahabat Papa",

"Bukan itu yang Rizha tanyakan Ma", potong Rizha, dalam beberapa saat kedua wanita itu hanyadiam, di seberang sana serang bunda merasa sedih mendengar perkataan anak gadisnya itu, segitukah ketidakpercayaan Rizha terhadap cinta, cinta tak pernah mengenal waktu dan tempat, tak mengenal ras dan suku bangsa, juga tak mengenal umur dan selisih usia, sedangkan anakgadisnya tetap saja sedih, bingung dan menungggu jawaban ibunya.

"Cobalah buka hatimu, sayang. Mama yakin Farel pria yang tepat untukmu," ujar bundanya.

"Mama juga yakin sewaktu Mama menikah dengan Papa yang usianya lebih tua enam taon dari Mama. Mama juga yakin sewaktu bercerai dengan Papa? Apa Rizha mesti harus yakin lagi dengan perkataan Mama, yang Mama sendiri nggak bisa pertanggungjawabkan?" tanya Rizha membuat suara wanita di seberang sana tak bergema untuk sesaat.

"Zha, udah dong. Kamu sekarang lagi bicara ma Mama kamu," tegur Rianti, kemudian mengambil handphone Rizha,

"Bu, ini Rianti. Maafkan perbuatan Zha yah Bu. Biar nanti kami yang urus, Ibu tenang saja. Selamat sore Bu," ujar Rianti menenangkan percekcokan kedua wanita itu.

"Gue..," belum selesai Rizha berbicara, tiba-tiba tangan Reza memegang tangannya dan menarik Rizha menuju ke dalam kedai kopi, entah apa yang telah Farel bicarakan dengan Reza, sampai sahabatnya itu tega menariknya bertemu dengan pria itu, bahkan tidak mengubris penolakan Rizha.

Kini Rizha telah duduk di hadapan Farel, mereka hanya berdua saja. Rianti dan Reza mengambil posisi duduk tepat di belakang meja mereka. Satu menit, dua menit, kini bahkan sudah hitungan menit ke-lima belas, Rizha dan Farel masih diam membisu. Rizha diam merenungi keadaannya, Farel diam memilih kata yang tepat untuk memulai pembicaraan dengan wanita berkondisi galau di depannya itu. Tiba-tiba Rizha berdiri, mengambil tasnya, berbenah segera ingin meninggalkan tempat itu, tiba-tiba tangan Farel menggenggam tangannya.

"Zha, jangan pulang yah," ujar Farel, Rizha hanya terdiam, kemudian melepaskan genggaman tangan Farel tapi tetap membenahi semua tasnya, memasukkan laptotnya, buku agenda meetingnya, dan alat tulis-menulisnya.

"Ok, kalo kamu mau pulang biar aku yang antar, gimana?" tawar Farel.

"Tidak, terima kasih Tuan Farel," tolak Farel, Rizha kemudian berlari meninggalkannya, bahkan tanpa berpamitan pada dua sahabatnya itu. Farel hanya tersenyum pada Rianti dan Reza, pertanda pamit, duluan meninggalkan mereka berdua. Kemudian berlari mengejar Rizha.

Minggu, 01 November 2009

Menemukanmu

Setelah sekian lama mencarimu, akhirnya ku menemukanmu.

Menemukanmu seakan memberi sensari yang luar biasa.
Seperti sensasi yang dirasakan Einsten saat berhasil menghipnosis jutaan orang dengab 'teori relativitasnya'
Atau sensasi seperti yang Bill Gates rasakan saat memperkenalkan kepada dunia sistem operasi windows
Atau mungkin juga seperti saat Raden Ajeng Kartini merasakan sensasi yang luar biasaa ketika berhasil menghantar wanita Indonesia keluar dari belenggu diskriminasi.

Berlebihan mungkin analogi yang saya sebutkan, tapi arti hadirmu bak mujizat dalam hidupku.

Meski ku tahu
Saat menemukanmu, kau telah bersama dengan wanita yang baru
Namun, aku tak peduli
Aku juga tak ingin menghancurkan jalinan kasih yang telah kau jalani bersamanya, tidak!!

Menemukanmu dan melihatmu bahagia adalah hal terpenting bagiku
Sama urgentnya dengan kebutuhan manusia atas senyawa O2

Memilikimu???
TIDAK jika inginmu bukan bersamaku....

Sabtu, 12 September 2009

Saat Aku dan Kau Berpikir

Aku terdiam saat kau berpikir aku harus diam
Aku tersenyum saat kau berpikir aku harus tersenyum
Aku jatuh cinta padamu saat kau memikirkan hal itu.

Kau tak tersenyum meski aku berpikir kau tersenyum
Kau tak mengejarku meski aku berpikir kau berada di belakangku, mengejarku, dan meraihku untuk berada di sisimu
Kau bahkan tak jatuh cinta padaku saat aku memikirkan hal itu.

Kau membuatku selalu mengikuti kemana langkah kakimu beranjak
Menyeretku hanyut oleh derasnya arus eksistensi dirimu
Menghipnosisku hingga aku tak kuasa menjadi raja atas diriku sendiri.

Bagimu aku hanya tampak seperti halnya fatamorgana, begitu semu
Hingga kini aku pun tak yakin akan keberadaanku.

Aku selalu seperti apa yang kau pikirkan
Namun, kamu selalu hidup sesuai dengan apa yang kau pikirkan.


Makassar, 11 - 12 September
Dari semua yang telah kulakukan dalam hidup ini, meraih dan menggapaimu adalah hal tersulit bagiku.

Kamis, 10 September 2009

090909

Butuh beberapa kisah untuk menyadari bahwa kenangan berasamamu itu abadi dalam ingatanku.

Butuh beberapa tahun untuk menyadari bahwa ternyata aku mencintaimu, bukan dia yang selalu kusebut namanya.

Butuh beberapa pria untuk menyadarkanku bahwa kau memang 'pria impianku'.


Makassar, 09 September 2009
Kala diri ini semakin mencintaimu, please forgive me....
I can't stop loving you....

Kembali Mencintaimu

Kupikir kenangan tentang dirimu betul-betul sirna dari kehidupanku, nampaknya tidak.

Kupikir bayangan dirimu telah musnah dari ingatanku, nampaknya tidak.

Kupikir anganku bersamamu telah raib ditelan rasa sakit hati dan putus asa karenamu,nampaknya tidak.


Makassar, 03 September 2009
Saat aku betul-betul terpenjarakan olehmu

Selasa, 28 Juli 2009

TAK CUKUP SABAR MENUNGGUKU

Harus kepada siapa lagi aku memohon?
Aku tidak mungkin memintanya padamu
Tidak, sungguh itu tidak akan aku lakukan
Memohon kepadamu sama saja dengan maut

Aku terlalu egois untuk melakukannya
Aku terlalu egois untuk memohon agar kau tetap bersamaku
Bukankah aku yang telah melepaskanmu
Membiarkanmu berlalu dengan gadis-gadismu
Gadis yang awalnya hanya sebagai alat agar aku cemburu
Namun, ternyata kau betul-betul bersama gadis-gadis itu
Kau tak cukup tangguh melawan keegoisanku
Kau tak cukup sabar menunggu hatiku sepenuhnya hanya untukmu

Aku juga tak mungkin memohon kepadanya
Memohon kepada gadis yang kini menjadi pujan hatimu agar mau melapaskanmu
Aku terlalu rendah untuk memohon kepadanya
Entahlah, terlalu rendah, malu atau aku tak tega melakukannya....

Kini bagaikan seribu anak panah yang melesat menuju diriku
Harapanku untuk bersamamu sekecil peluangku hidup setelah anak-anak panah itu menembus setiap organ tubuhku.

Selasa, 28 Juli 2009
Hal yang mestinya kutulis atau kuberitahukan padamu 3 tahun yang lalu, karena setelah itu aku melupakanmu sepert saat ini.

LAGU SEDIH DARIMU

Kemarin adalah sebuah kenangan
Kemarin adalah masa lampauKenangan manis dan masa lampau yang indah tentang dirimu, tentang kisah kita.

Esok adalah angan-angan dan cita- cita
Esok adalah harapan dan impianAngan-angan dan harapan yang menantiku untuk mewujudkan semua inginmu sebagai bukti cintaku padamu

Hari ini adalah realitas
Hari ini yang aku jalani
Hari ini yang aku lalui tanpamu, tanpa kasihmu lagi, kehidupan saat ini kujalani tanpa bayang-bayangmu lagi
Hari ini bagiku menghimpun semua kekuatan untuk menggapai esok tanpa kehilangan kisah kemarin.

***

Linangan air mataku semakin deras, sederas hujan yang mengguyur basah kota Daeng, kota tempat kelahiranku tercinta. Tampak jelas semua kenangan indah yang telah kami lalui bersama, kenangan itu muncul tiba-tiba seperti tampilan slide show di power point. Kenangan dari awal kita bersama hingga engkau meninggalkanku dalam kesendirian yang begitu nyata. Penolakan akan ketiadaanmu senantiasa bergejolak menghiasi setiap detik hidupku, engkau yang dulu selalu ada untukku, bahkan menjadikanku sebagian dari spirit hidupmu, kini telah meninggalkanku.
Ketika mentari mulai merangkak naik memberi nuansa baru di setiap pagi yang indah.
Engkau hadir menjadi mentari yang selalu memberi warna berbeda di setiap hari dalam hidupku yang masih polos ini.Ketika bulan berselimutkan awan atas dinginnya malam. Engkau adalah awan yang menyelimutiku atas ketidaktahuanku tentang segalanya, juga hadir sebagai sang penjagakuLalu bagaimana mungkin tiba-tiba engkau tak melukisi hari-hariku dan melindungiku lagi?
***

Sudah seminggu tubuhmu terbaring lemah bahkan kalau diamati dengan teliti kau tampak sangat pucat, aku bahkan hampir menyangka sudah tak ada lagi darah yang dipompa oleh jantungmu hingga beredar ke seluruh pembuluh darahmu.
Posisi tubuhmu tampak monoton, jangankan untuk mengubah posisi tidurmu, menggerakkan tanganmu saja perlu perjuangan yang keras kau lakukan, mungkin sistem koordinasi tubuhmu sudah tidak bekerja optimal lagi, atau mereka sudah tidak mau lagi bekerjasama dan dipimpin oleh pemimpin mereka yang dikenal dengan sebutan otak. Denyut nadimu begitu lambat, berlomba dengan tetesan-tetesan di tabung infusmu. Ketika kau bernafas, semua orang bahkan hampir mendengarnya, desahan nafas itu begitu menyiksaku, kau terdengar begitu menderita jika ingin bernafas, sebuah rutinitas agar otak dapat bekerja secara optimal, agar kita bisa tetap hidup.
Semakin hari, kondisimu semakin memburuk. Keadaan yang begitu menyiksaku dan semua orang yang menyayagimu. “Kamu harus berjuang melawan semua ini, seperti saat engkau berusaha mendapatkan cinta seseorang yang begitu kau cintai yang bahkan apapun akan kau lakukan hanya demi melihatnya tersenyum indah atau ketika engkau bela-belaan memperjuangkan nasib seseorang yang membutuhkan keadilan di depan para wakil rakyat”, lirih hatiku yang semakin terluka, karena takut kehilangan dirimu.

“Ayo berjuanglah, apa kau ingin melihatku terus sedih dan kian terluka dengan semua ini? Ayo, kau tahu bahwa eksistensimu begitu berarti dalam hidupku. Bangkitlah dari kondisi yang memilukan ini, aku yakin kau tahu bahwa aku hampa tanpamu”. Pipiku kini telah dihiasi dengan aliran sungai air mata, wajahku bak lukisan kelam, kelabu, penuh kedukaan. Lukisan yang mengerikan, bahkan tampak sama dengan lukisan korban perang dunia.

***

Hari ini ketika cahaya mentari menerobos celah-celah tirai putih renda kamarku hingga membuat mataku yang baru saja akan terpejam, tepaksa terbuka sangat lebar karena kabar baik tentang dirimu. Semua orang berseruak memberitahukan kepadaku bahwa engkau telah berjuang melawan ketidakberdayaanmu selama ini. Aku begitu bahagia tentunya, ternyata engkau masih ingin tetap bersamaku menjalani kehidupan yang tampak rumit oleh sebahagian orang yang menganggap cobaan ini sebagai beban bukan sebagai ‘cara indah yang syarat hikmah dari-Nya’.
Terima kasihku duhai sang pemilik segala-Nya, syukurku atas keharibaan-Mu. Hari engkau tampak begitu tenang, bersih dan bersahaja. Tanpa kusadari kekagumanku padamu kian bertambah, bahkan bisa-bisa berada pada titik limit yang membelenggu rasaku padamu.
Tubuhmu tampak merona, pertanda kinerja system peredaran darahmu telah membaik, bahkan kaupun telah dapat menggerakkan tubuhmu yang kaku itu, nafasmu terdengar begitu lembut bak alunan musik sang instrumental sejati Mozart, irama denyut nadi saat dokter menyentuh pergelangan tanganmu teratur pasti layaknya ritme degungan dansa yang apik.

“Kemarilah” ,ujarmua memanggilku, memintaku berada disisimu.

“Hari ini kau tampak manis sekali”, ujarmu lagi.

“Sudahlah, jangan terlalu banyak beraktivitas, istirahatlah. Kondisimu belum begitu stabil” , jawabku mengkhawatirkan kondisinya.

“Tidak apa-apa. Lagi pula sudah begitu lama aku tak melihat seyummu yang indah itu”, pujimu, kubalas dengan menghadiahkanmu sebuah senyuman indah nan tulus hanya untukmu.

“Baiklah”, jawabku menurutimu, membiarkanmu terus berbicara menyampaikan semua isi hatimu.

“Kau tampak pucat, berapa lama kau tidur? Kondisimu tampak tak sehat”, kau bertanya sambil memegang pipiku lalu kau pun tersenyum menanti jawabanku.

“Aku baik-baik saja, lagian mana bias aku tidur pulas dengan kondisi yang mengkhawatirkan ini” , jawabku mencoba menenangkanmu, meskipun aku yakin kau tahu bahwa aku bahwa belum tidur beberapa hari ini, aku memang tampak percuma jika mencoba membohongimu.

“Pergilah istirahat” ,pintamu tulus.

“Tidak perlu”, jawabku.
Namun, kau tetap memaksaku hingga akhirnya aku menyerah denga berpura-pura tidur, tapi aku masih tetap berjaga. Bahkan engkau menyuruh semua orang yang mengkhawatirkanmu agar mereka beristirahat dan beraktivitas, engkau begitu segan menghambat segala kegiatan mereka.Setelah yakin bahwa orang-orang secara bergantian menjagamu, kucoba betul-betul memenuhi keinginanmu, kubiarkan tubuhku berbaring di atas kasur meski hanya sesaat, aku hanya ingin mengembalikan vitalitas tubuhku yang sudah low battery, meski kekhawatiran senantiasa menambah kegalauan hatiku akan kondisimu yang terlihat fluktuatif.

“Zahra….Zahra”, seseorang menggoyang-goyangkan tubuhku sambil menyebut namaku tepat di sampingku.

“Ya, ada apa. Kenapa Ibu menangis?”, tanyaku beberapa detik kemudian aku langsung menitihkan air mata tanpa mengatahui penyebab Ibuku menangis, entahlah perasaanku tambah kacau balau, bahkan air mata penasaran ini belum dapat mengobati keadaanku.

Ke sinilah, duduklah di samping adikmu”, ujar Ibuku sambil menuntunku duduk tepat di samping adik dan pria yang kusayangi itu, suara Ibuku begitu terdengar pilu, dia hanya berusaha menahan kepedihan hatinya, mengatur nada bicara agar terdengar damai.
Kulihat semua orang yang amat sangat menyayangimu mengelilingmu, mereka menatapmu dengan tatapan putus asa. Namun, kau hanya tersenyum indah tanpa memperdulikan betapa kelam ruangan ini, lalu kau menatap kami satu per satu, menghafal secara detil cirri-ciri kami seolah engkau takkan melihat kami lagi. Lama sekali kau menatap kami, entah mengapa semua makhluk bernyawa di sekitarmu membiasu mereka hanya menitihkan air mata akan dirimu.
Setelah puas melihat semuanya, selanjutnya kau menutup matamu perlahan namun tetap tersenyum indah pada kami. Kau menutup matamu dan juga menutup semua kisahmu pada kami. Melenyapkan semua asa kami akan kebersamaaan bersamamu lagi. Kau pergi untuk selamanya tanpa perduli bahwa kami masih ingin bersamamu. Ternyata kau tidak dapat berjuang melawan sesuatu yang telah ditetapkan-Nya yang bernama Ajal dan Takdir.

Kepergianmu memberi gelar sosial baru bagi adik, Ibu dan diriku. Ibuku sungguh begitu sedih atas kepergianmu, pria yang begitu dia sayangi dalam hidupnya ini, pria yang menemaninya menjalani sebahagian hidupnya sebelum aku dan adikku melengkapi kehidupan kalian.
Aku dan adikku juga begitu sedih dan sangat terpukul atas semua ini, kini tak ada lagi yang melindungi kami layaknya seorang pahlawan, tak ada lagi yang kusebut Ayah dalam hari-hariku selanjutnya.“Ayah, aku akan selalu menyayangi dan merindukanmu..”, janjiku padamu, meski kau sudah tak mendengarnya dan tak menangihnya padaku. Alunan nada sedih bergemuruh menghiasi setiap ruang di hatiku, kau pergi menitipkan sebuah lagu duka untukku.
***

Rabu, 22 Juli 2009

SAAT HUJAN TURUN

Air hujan membasahi setiap yang ditemuinya
Tak peduli benda hidup atau mati
Tak peduli mereka suka dengan air hujan atau tidak
Tak peduli mereka berteduh atau tidak

Tanganku yang sedari tadi kering, kini dibuat basah oleh air hujan
Tak hanya dingin yang kurasakan
Nyeri juga menghampiriku di setiap tetesan air hujan yang tiba di kulitku
Nyerinya seperti saat dokter menancapkan sebuah jarum suntik ke tubuhku
Tapi, ini sungguh berbeda
Ada sensasi 'kesegaran' dan 'bahagia' di setiap tetesan itu

Namun, ada hal yang paling kusukai setiap kali hujan telah mengguyur bumi
Tanaman yang bergantian menunjukkan dirinya dengan warna alami yang masih basah dan segar
Aroma tanah yang membaui udara
Jalan-jalan raya yang tampak mengkilap dan basah
Tak jarang drama ini diakhiri dengan munculnya 'pelangi' yang begitu indah
Yang mampu mengukir sebuah senyuman di figura wajahku

Gemuruh air hujan begitu bising di telinga
Titik-titik air turun dengan kecepatan yang masih dapat kulihat, kini membasahi halaman rumahku
Bunyi tetesan air saat bersentuhan dengan atap seng rumahku bak senandung irama yang
me-ninabobo-kan diriku
Membuatku perpindah frekuensi
Membuatku berpindah dimensi....


Rabu, 22 Juli 2009
Saat hujan menjadi hal yang sangat kunantikan saat ini

Rabu, 15 Juli 2009

DO'A SANG PENDOSA

Ya Rabb....
Ampuni hambaMU ini
Ampuni segala rutinitas ilegalku terhadapMu dan juga terhadap hambaMu yang lain.

Ya Rabb....
Maafkanlah aku yang senantiasa acuh dan tidak memperhatikan penderitaan saudara-saudaraku,padahal mereka berada di sisiku.

Ya Rabb....
Maafkanlah aku yang senantiasa lupa blas budi bahkan hanya sekedar mengucap terima kasih kepada mereka yang senantiasa menolongku.

Ya Rabb....
Maafkanlah aku yang senantiasa tidak menjaga lidah, lisan, dan sikapku, sehingga banyak orang yang terluka dan sakit hati oleh perbuatanku.

Ya Rabb....
Maafkanlah aku yang senantiasa angkuh dan sombong atas apa yang tidak pantas aku banggakan.
Bukankah semua ini milikMu, Engkau hanya meminjamkannya padaku.

Ya Rabb....
Maafkanlah aku yang senantiasa serakah dan rakus, sehingga tanpa kusadari dalam keserahandan kerakusanku itu terdapat hak orang lain yang telah aku rampas haknya dan bahkan untuk semua yang telah aku miliki, aku bahkan lupa 'tuk bersyukur padaMu.

Ya Rabb....
Doa apalagi yang harus kuuntaikan, yang bahkan semua tinta dan kertas di bumi ini takkan cukup hanya untuk mengukir dosa-dosaku.....

220906

Dan biarkan hari ini kunikmati cinta yang tak bisa kumiliki darimu
Karena esok akan kupersembahkan seluruh cintaku pada Sang Maha Cinta
Biarlah Dia yang menentukan kepada siapa cintaku akan berlabuh....

Senin, 13 Juli 2009

KISAH KITA

Pernah kucoba untuk melupakan dirimu pada setiap renunganku
Melupakan semua yang kau goreskan dalam kisah kita

Kucoba meyakinkan pikiranku
Bahwa sebenarnya kau tak pernah ada
Bahwa bumi, langit dan alam semesta tercipta karena memang meski tercipta
Bahwa gravitasi ada karena itu hal yang sangat dibutuhkan manusia agar tetap melekat di bumi
Bahwa teori trigonometri, aljabar dan hukum-hukum lainnya ada karena memang harus ada

Tetapi...
Yang kurasakan kemudian, hidupku seperti tak berarti lagi

6 Januari 2005
Saat diriku mencoba men-delete folder dirimu dalam drive cintaku...

Kamis, 02 Juli 2009

AKU, MEREKA & DIA

Kali ini aku tidak akan lagi menyebutkan nama mereka saat aku bermohon padaNya
Aku tak akan melatunkan asa kami padaNya
Entah mengapa, setiap kali bibirku mengucapkan nama dan asaku tentang seseorang yang kucinta, orang itu akan pergi meninggalkanku bersama semua impian-impian tentang kita.

Apa Dia cemburu dengan mereka? Aku yakin tidak....
Apa Dia takut aku berbagi cintaku dengan yang lain? Aku pastikan tidak....

Tapi mengapa aku selalu berada dalam kesendirian dalam menjalani kehidupanNya?
Apa aku ditakdirkanNya seorang diri menjalani semua ini?
Aku yakin tidak....

Tapi....

Baiklah, takkan kusebut lagi namamu dan impian kita padaNya
Biar dirimu tidak pergi meninggalkanku dengan membawa seluruh citaku

Biarkan hanya aku yang menyimpan semuanya, meski kutahu aku tak bisa merahasiakan sesuatu dariMu.
Biarkan aku merasakan keberadaanmu di sisiku
Biarkan aku melewati setiap kisah kita sepuas hatiku
Karena aku tak tahu kapan Dia membawamu pergi meninggalkanku

Biarkan aku menjalani semuanya walau sesaat
Agar perpisahan tak dapat merenggutMu dariku....

Rabu, 24 Juni 2009
Berharap kau dan aku akan melewati masa-masa indah bersama nanti....

Minggu, 21 Juni 2009

AKU & ISI OTAKKU

Sudah sangat lama ku memikirkannya, tapi belum jua kutemukan jawaban untuknya.
Sekuat bagaimanapun aku memikirkannya, tetap saja belum kudapatkan jawaban.
Sudah kukerahkan seluruh jaringan-jaringan sel otakku yang kian lama semakin erat hubungannya antar satu akson dengan dendrit yang lainnya.
Namun, tak jua kutemukan jawabannya.

Bahkan teori-teori keberadaan yang memenuhi setiap inchi otakku seakan terusik keberadaannya.
Sekalipun terbilang muda, dia tidak sungkan dengan semua yang sudah lama bercokol di benakku.

Kini dia tak hanya menggandakan dirinya bagai virus yang menyesakkan otakku, dia sudah menjalar bak penyakit kronis stadium 4 yang sedang menggerogoti panca inderaku.

Dimanapun aku memandang yang kudapati hanya sosoknya yang riang gembira, pertanda dia senang karena berhasil mempermainkan penglihatanku.
Apapun yang kudengar hanyalah suaranya yang selalu tergiang-giang di telingaku.
Dia tak segan-segan menyentuh seluruh tubuhku, bahkan tak satu senti pun yang tak dijamahnya.
Entah mengapa apapun yang lidahku rasakan hanyalah dia.
Dia selalu menari-nari di atas lidahku, memberi sensasi rasa yang selalu mengingatkanku bahwa ini adalah rasanya.
Tak pelak aromanya menyelundup masuk ke lubang hidungku bersamaan dengan oksigen yang aku hirup.

Dia betul-betul menghantuiku...
Padahal dia hanyalah sebuah pertanyaan
Pertanyaan yang membuatku tak henti-hentinya berpikir.
"Kapan aku bisa berhenti berpikir?"

Sabtu, 20 Juni 2009
Di kala sang fajar mulai menampakkan dirinya, di saat insomnia memaksaku tetap hidup dengan tubuh yang lelah menatap seluruh ciptaan-Nya.

AKU INGIN....

Aku ingin menjadi....
Aku ingin menjadi pencipta

Aku ingin mencipta....
Aku ingin menciptakan kehidupan

Menciptakan kehidupan yang aku inginkan
Menciptakan individu-individu yang patuh padaku
Menciptakan takdir dan nasib bagi ciptaan-ciptaanku
Menciptakan tragedi, fenomena alam, aturan-aturan, dan segala yang berhubungan dengan kosmik
Menciptakan jagad raya yang aku inginkan
Menciptakan surga dan neraka
Menciptakan jodoh, usia, rezeki, dan maut bagi semua ciptaanku

Aku ingin menjadi....
Aku ingin menjadi ciptaan

Aku ingin hidup sebagai pencipta sekaligus ciptaan
Hanya ada satu jalan
Aku mesti menjadi TUHAN

Aku ingin menjadi....
Aku ingin menjadi TUHAN
Menjadi TUHAn yang menciptan dan menjadi ciptaan TUHAN.

Kamis, 18 Juni 2009
Dalam kebimbangan yang begitu mendalam....

SETIAP KALI SAAT AKU MENCINTAIMU

Aku mencintaimu di setiap tetes darah yang telah dipompa jantungku ke seluruh tubuhku.
Aku mencintaimu pada setiap detak jantungku yang senantiasa seirama dengan denyut nadiku.

Aku mencintaimu pada setiap hembusan nafasku, entah pada saat menghirup oksigen atau menghembuskan karbondioksida.
Aku mencintaimu di setiap reaksi yang terjadi pada organ tubuhku saat bermetabolisme.

Aku mencintaimu di kala matahari terbit dan terbenam.
Aku mencintaimu di kala mentari merangkak naik dan memberi cahaya juga kehangatan bagi bumi ini.
Aku mencintaimu di kala malam menyelimuti dunia dengan kegelapan dan menghiasinya dengan cahaya rembulan dan gemerlap bintang-bintang.

Aku mencintaimu di setiap pergerakan bumi ketika berotasi pada porosnya.
Aku mencintaimu dengan atau tanpa gravitasi.

Aku mencintaimu meski sudah tak ada lagi yang mencintaimu.
Aku mencintaimu meski diriku telah kehabisan hormon 'CINTA'.
Aku mencintaimu seperti energi yang sifatnya abadi, tak dapat dibuat dan dimusnahkan.

Senin, 15 Juni 2009
Kala cinta itu terus bersemi

AKHIR YANG BERARTI

Kebersamaan yang telah kulalui bersamamu
Menghiasi hari demi hari dalam hidupku
Namun, arti hadirmu begitu terasa kala dikau tak ada di sisiku lagi menemaniku mengarungi semua ini.

Kau memberi warna pada hidupku yang monoton
Kau membantuku memaknai kehidupan yang rumit ini
Kau mengajariku tentang segala hal yang tak kupahami

Kini, diriku hampa tanpamu
Musnah tanpa kehadiranmu di sisiku....

14 Mei 2008
Saat aku menyadari ternyata diriku tak sempurna tanpamu

RUANG KOSONG

Sepi...Tak ada seorang pun di dalamnya.
Hening...Tak ada alunan nada do-re-mi membentuk irama yang bersenandung di dalamnya.
Gelap...Tak ada secerca cahaya, bahkan biasan sekalipun yang memberi sinar di dalamnya.

Ruang kosong.... Mungkin ruangan untuk mengkultuskan sesuatu?
Ruang kosong.... Syarat dengan 'keheningan', identik dengan 'daya mistik', bahkan ekuivalen dengan 'kehampaan'.
Ruang kosong.... Rindu akan hadirnya sosok tubuh dalam wujudaktivitas yang memberi arti agar tak lagi menjadi 'ruang kosong'.
Ruang kosong itu ada tepat di dalam sebuah hati
Tak ada sesosok pun yang menjadi inspirasi bagisetiap gerakan dan impianku
Tak alunan syurgawi dunia dalam irama percintaanyang menjadi nada dalam melodi kehidupan
Tak ada penerangan dari tangki minyak rinduyang akan terbakar korek kayu cemburu saat api cinta membiaskan cahayanya

Ruang kosong itu AKU
(November 2007, saat hatiku menjadi 'ruang kosong'tanpamu)