Selasa, 28 Juli 2009

LAGU SEDIH DARIMU

Kemarin adalah sebuah kenangan
Kemarin adalah masa lampauKenangan manis dan masa lampau yang indah tentang dirimu, tentang kisah kita.

Esok adalah angan-angan dan cita- cita
Esok adalah harapan dan impianAngan-angan dan harapan yang menantiku untuk mewujudkan semua inginmu sebagai bukti cintaku padamu

Hari ini adalah realitas
Hari ini yang aku jalani
Hari ini yang aku lalui tanpamu, tanpa kasihmu lagi, kehidupan saat ini kujalani tanpa bayang-bayangmu lagi
Hari ini bagiku menghimpun semua kekuatan untuk menggapai esok tanpa kehilangan kisah kemarin.

***

Linangan air mataku semakin deras, sederas hujan yang mengguyur basah kota Daeng, kota tempat kelahiranku tercinta. Tampak jelas semua kenangan indah yang telah kami lalui bersama, kenangan itu muncul tiba-tiba seperti tampilan slide show di power point. Kenangan dari awal kita bersama hingga engkau meninggalkanku dalam kesendirian yang begitu nyata. Penolakan akan ketiadaanmu senantiasa bergejolak menghiasi setiap detik hidupku, engkau yang dulu selalu ada untukku, bahkan menjadikanku sebagian dari spirit hidupmu, kini telah meninggalkanku.
Ketika mentari mulai merangkak naik memberi nuansa baru di setiap pagi yang indah.
Engkau hadir menjadi mentari yang selalu memberi warna berbeda di setiap hari dalam hidupku yang masih polos ini.Ketika bulan berselimutkan awan atas dinginnya malam. Engkau adalah awan yang menyelimutiku atas ketidaktahuanku tentang segalanya, juga hadir sebagai sang penjagakuLalu bagaimana mungkin tiba-tiba engkau tak melukisi hari-hariku dan melindungiku lagi?
***

Sudah seminggu tubuhmu terbaring lemah bahkan kalau diamati dengan teliti kau tampak sangat pucat, aku bahkan hampir menyangka sudah tak ada lagi darah yang dipompa oleh jantungmu hingga beredar ke seluruh pembuluh darahmu.
Posisi tubuhmu tampak monoton, jangankan untuk mengubah posisi tidurmu, menggerakkan tanganmu saja perlu perjuangan yang keras kau lakukan, mungkin sistem koordinasi tubuhmu sudah tidak bekerja optimal lagi, atau mereka sudah tidak mau lagi bekerjasama dan dipimpin oleh pemimpin mereka yang dikenal dengan sebutan otak. Denyut nadimu begitu lambat, berlomba dengan tetesan-tetesan di tabung infusmu. Ketika kau bernafas, semua orang bahkan hampir mendengarnya, desahan nafas itu begitu menyiksaku, kau terdengar begitu menderita jika ingin bernafas, sebuah rutinitas agar otak dapat bekerja secara optimal, agar kita bisa tetap hidup.
Semakin hari, kondisimu semakin memburuk. Keadaan yang begitu menyiksaku dan semua orang yang menyayagimu. “Kamu harus berjuang melawan semua ini, seperti saat engkau berusaha mendapatkan cinta seseorang yang begitu kau cintai yang bahkan apapun akan kau lakukan hanya demi melihatnya tersenyum indah atau ketika engkau bela-belaan memperjuangkan nasib seseorang yang membutuhkan keadilan di depan para wakil rakyat”, lirih hatiku yang semakin terluka, karena takut kehilangan dirimu.

“Ayo berjuanglah, apa kau ingin melihatku terus sedih dan kian terluka dengan semua ini? Ayo, kau tahu bahwa eksistensimu begitu berarti dalam hidupku. Bangkitlah dari kondisi yang memilukan ini, aku yakin kau tahu bahwa aku hampa tanpamu”. Pipiku kini telah dihiasi dengan aliran sungai air mata, wajahku bak lukisan kelam, kelabu, penuh kedukaan. Lukisan yang mengerikan, bahkan tampak sama dengan lukisan korban perang dunia.

***

Hari ini ketika cahaya mentari menerobos celah-celah tirai putih renda kamarku hingga membuat mataku yang baru saja akan terpejam, tepaksa terbuka sangat lebar karena kabar baik tentang dirimu. Semua orang berseruak memberitahukan kepadaku bahwa engkau telah berjuang melawan ketidakberdayaanmu selama ini. Aku begitu bahagia tentunya, ternyata engkau masih ingin tetap bersamaku menjalani kehidupan yang tampak rumit oleh sebahagian orang yang menganggap cobaan ini sebagai beban bukan sebagai ‘cara indah yang syarat hikmah dari-Nya’.
Terima kasihku duhai sang pemilik segala-Nya, syukurku atas keharibaan-Mu. Hari engkau tampak begitu tenang, bersih dan bersahaja. Tanpa kusadari kekagumanku padamu kian bertambah, bahkan bisa-bisa berada pada titik limit yang membelenggu rasaku padamu.
Tubuhmu tampak merona, pertanda kinerja system peredaran darahmu telah membaik, bahkan kaupun telah dapat menggerakkan tubuhmu yang kaku itu, nafasmu terdengar begitu lembut bak alunan musik sang instrumental sejati Mozart, irama denyut nadi saat dokter menyentuh pergelangan tanganmu teratur pasti layaknya ritme degungan dansa yang apik.

“Kemarilah” ,ujarmua memanggilku, memintaku berada disisimu.

“Hari ini kau tampak manis sekali”, ujarmu lagi.

“Sudahlah, jangan terlalu banyak beraktivitas, istirahatlah. Kondisimu belum begitu stabil” , jawabku mengkhawatirkan kondisinya.

“Tidak apa-apa. Lagi pula sudah begitu lama aku tak melihat seyummu yang indah itu”, pujimu, kubalas dengan menghadiahkanmu sebuah senyuman indah nan tulus hanya untukmu.

“Baiklah”, jawabku menurutimu, membiarkanmu terus berbicara menyampaikan semua isi hatimu.

“Kau tampak pucat, berapa lama kau tidur? Kondisimu tampak tak sehat”, kau bertanya sambil memegang pipiku lalu kau pun tersenyum menanti jawabanku.

“Aku baik-baik saja, lagian mana bias aku tidur pulas dengan kondisi yang mengkhawatirkan ini” , jawabku mencoba menenangkanmu, meskipun aku yakin kau tahu bahwa aku bahwa belum tidur beberapa hari ini, aku memang tampak percuma jika mencoba membohongimu.

“Pergilah istirahat” ,pintamu tulus.

“Tidak perlu”, jawabku.
Namun, kau tetap memaksaku hingga akhirnya aku menyerah denga berpura-pura tidur, tapi aku masih tetap berjaga. Bahkan engkau menyuruh semua orang yang mengkhawatirkanmu agar mereka beristirahat dan beraktivitas, engkau begitu segan menghambat segala kegiatan mereka.Setelah yakin bahwa orang-orang secara bergantian menjagamu, kucoba betul-betul memenuhi keinginanmu, kubiarkan tubuhku berbaring di atas kasur meski hanya sesaat, aku hanya ingin mengembalikan vitalitas tubuhku yang sudah low battery, meski kekhawatiran senantiasa menambah kegalauan hatiku akan kondisimu yang terlihat fluktuatif.

“Zahra….Zahra”, seseorang menggoyang-goyangkan tubuhku sambil menyebut namaku tepat di sampingku.

“Ya, ada apa. Kenapa Ibu menangis?”, tanyaku beberapa detik kemudian aku langsung menitihkan air mata tanpa mengatahui penyebab Ibuku menangis, entahlah perasaanku tambah kacau balau, bahkan air mata penasaran ini belum dapat mengobati keadaanku.

Ke sinilah, duduklah di samping adikmu”, ujar Ibuku sambil menuntunku duduk tepat di samping adik dan pria yang kusayangi itu, suara Ibuku begitu terdengar pilu, dia hanya berusaha menahan kepedihan hatinya, mengatur nada bicara agar terdengar damai.
Kulihat semua orang yang amat sangat menyayangimu mengelilingmu, mereka menatapmu dengan tatapan putus asa. Namun, kau hanya tersenyum indah tanpa memperdulikan betapa kelam ruangan ini, lalu kau menatap kami satu per satu, menghafal secara detil cirri-ciri kami seolah engkau takkan melihat kami lagi. Lama sekali kau menatap kami, entah mengapa semua makhluk bernyawa di sekitarmu membiasu mereka hanya menitihkan air mata akan dirimu.
Setelah puas melihat semuanya, selanjutnya kau menutup matamu perlahan namun tetap tersenyum indah pada kami. Kau menutup matamu dan juga menutup semua kisahmu pada kami. Melenyapkan semua asa kami akan kebersamaaan bersamamu lagi. Kau pergi untuk selamanya tanpa perduli bahwa kami masih ingin bersamamu. Ternyata kau tidak dapat berjuang melawan sesuatu yang telah ditetapkan-Nya yang bernama Ajal dan Takdir.

Kepergianmu memberi gelar sosial baru bagi adik, Ibu dan diriku. Ibuku sungguh begitu sedih atas kepergianmu, pria yang begitu dia sayangi dalam hidupnya ini, pria yang menemaninya menjalani sebahagian hidupnya sebelum aku dan adikku melengkapi kehidupan kalian.
Aku dan adikku juga begitu sedih dan sangat terpukul atas semua ini, kini tak ada lagi yang melindungi kami layaknya seorang pahlawan, tak ada lagi yang kusebut Ayah dalam hari-hariku selanjutnya.“Ayah, aku akan selalu menyayangi dan merindukanmu..”, janjiku padamu, meski kau sudah tak mendengarnya dan tak menangihnya padaku. Alunan nada sedih bergemuruh menghiasi setiap ruang di hatiku, kau pergi menitipkan sebuah lagu duka untukku.
***

0 komentar: